Flash Fiksi oleh Arif Chasan
“aku sangat jelas melihatnya, nak” katanya sambil mencelupkan kuasnya ke cat lukis warna merah dengan tangannya yang kurus dan keriput.
“Bisa bapak gambarkan rupanya?” tanyaku.
“sayang sekali, aku takut tak ada kata dan bahasa di dunia ini yang mampu menggambarkannya nak, aku sendiri mungkin tidak mempercayainya jika tidak melihatnya sendiri, dan aku sangat yakin banyak detil yang kulewatkan.” Tangannya kini menari naik turun di bidang kanvas yang tak lagi putih polos.
“lantas, apa yang membuat bapak yakin kalau apa yang bapak lihat adalah Ia yang maha awal dan maha akhir?” microphoneku sedikit lebih aku dekatkan agar rekamanku lebih jelas hasilnya. Naluriku sebagai wartawan, aku tidak ingin melewatkan satupun kata yang diucapkan oleh pelukis tua ini.
“jika kamu sudah benar-benar mengenalnya, bukankah itu adalah hal yang sangat mudah? Sama seperti ketika kamu melihat ibumu, meskipun kamu sudah berpisah selama puluhan tahun, namun ketika akhirnya bisa bertemu kembali, kamu tak mungkin tidak mengenalinya meskipun wajahnya banyak berubah, iya kan?” ia menghentikan tangannya dan menoleh padaku dengan pandangan kosong namun seolah ia bisa melihat jauh kedalam diriku. Aku merasa ditelanjangi oleh pandangannya yang dingin.
“aku meragukannya pak” akhirnya aku membuka mulut setelah hening sekitar 5 detik.
“ah ya, ya.. bisa jadi” pandangannya kembali fokus ke kanvasnya.
Sejenak kuperhatikan, apa yang ia lukis hanyalah karya abstrak dan tak bisa kumengerti. Tapi torehan warna, garis lengkung dan setiap komponen yang ada di kanvasnya, entah bagaimana, membawa kesejukan dan ketentraman.
“kamu masih di sana, nak?” kalimatnya yang ramah membuyarkan lamunanku. “ah iya, maaf, sepertinya saya sudahi dulu untuk hari ini ya pak, terima kasih banyak atas waktunya dan mohon maaf sudah merepotkan” aku mengakhiri sesi wawancara ini dengan membawa perasaan yang masih mengganjal. Di ruang serba putih dan hanya tersedia satu kasur yang juga berwarna putih baik itu sepreinya maupun bantalnya, Aku membereskan peralatanku dan bersiap pulang. Saat hendak beranjak, aku masih tak bisa membuang rasa heranku melihat keadaan bapak tua didepanku, usianya sudah lebih dari setengah abad, wajahnya penuh keriput dan bagian matanya, ia memiliki pupil berwarna putih seputih kapas. Ya, bapak pelukis ini buta. Dan masih melukis.
“jangan heran nak.." tiba-tiba ia bicara. "mata hanya satu dari sekian banyak cara lain untuk melihat” bapak pelukis itu memunggungiku, namun sangat jelas aku rasakan kalau ia sebenarnya sedang “menatapku”.
Waw... aku kaget baca endingnya!
BalasHapusKereeennnnn.....
pengen deh bisa bikin ff/cerpen :|
BalasHapusSaya termasuk yang belum bisa buat cerpen, bagus nih karyanya :)
BalasHapuswah keren kang, udah lama nih gak maen ke blog ini
BalasHapusmelukis rindu gimana caranya ya?
BalasHapuskumat komene geje...
Hapusrif, kalau mau pesen, kirim alamatmu di emailku ya: annesya.devania@gmail.com :)
sudah sudah, jangan berteman :D
Hapusorang2 kayak gitu biasanya 6th sense nya jalan, mas
BalasHapusbeliau melihat-NYA dengan mata hati :)
BalasHapusAsalamualaikum
BalasHapusSubhanallah lukisannya bagus
Walau tunanetra ,beliau melukis dengan perasaanya
Sungguh cerita fiksi yang menyentuh perasaan. Meski memiliki kekurangan berupa tidak memiliki penglihatab, tapi mata hatinya sangat kuat.
BalasHapusbarangkali karena manusia tidak sempurna, sehingga di sisi kekurangannya diberi juga kelebihan
BalasHapusHmmm...penyampaikan makna di ending. Bagus :)
BalasHapuswow.. amazing. bermaksa sekali.
BalasHapusvirtuarchive.web.id