~GarisHorizon~
Chapter 1, Chapter 2, Chapter 3
4. Aku Bukan Pahlawan
Sekolah menengah atas ini jika dilihat dari luar akan tampak sebagai sekolah yang asri dan baik-baik saja. Namun, dibalik keindahan tata letak, keramahan warga sekolahnya dan prestasi-prestasi yang telah diukirnya ternyata menyimpan rahasia yang membanting semua hal yang telah disebutkan tadi.
Didalam ruang ber-AC dengan dua buah meja dan satu komputer yang nangkring diatasnya, seorang pria jangkung sedang duduk dikursi empuk. dan diatas meja didepannya terdapat papan persegi panjang bertuliskan “Kepala Sekolah”. Ia tampak memilah-milah dokumen dengan memasang raut muka yang serius, sesekali sebuah lembaran dokumen diremas-remas oleh tangannya yang dihiasi jam tangan rolex berlapis emas, lalu dilemparkannya bola kertas itu kedalam tong sampah disampingnya. Dan dokumen-dokumen yang selamat dari remasan tangannya, ia simpan kembali kedalam lemari arsip di pojok ruangan itu.
Kami bertiga (Aku, Pak Sudarwanto, dan Siska) duduk dikantin yang sangat sepi karena seharusnya ini sudah memasuki jam pelajaran. Aku dan Siska tak peduli walau kami tahu kami sedang bolos, toh guru pengajarnya saja ada disini. Pak Sudarwanto memulai pembicaraan, ia dengan serius dan hati-hati menjelaskan semuanya agar kami tidak salah paham dan mengerti semuanya.
Jam setengah lima sore, ternyata sudah satu jam Aku duduk didepan monitor warnet ini, biling client menunjukkan nominal 3000 rupiah untuk Aku bayar. Huft... aku ke warnet hanya untuk refreshing saja, tak kukira penjelasan Pak Sudawanto tadi siang di sekolah membuatku bingung setengah mati, masalahnya terlampau berat. Seharusnya intelijen FBI atau CIA saja yang menanganinya, bukan tubuh seorang yang senja dan keriput seperti Pak Sudarwanto.
“Sudah waktunya pulang.” Gumamku.
Aku beranjak dari ruangan ber-AC itu dan melangkahkan kaki menuju rumahku yang hanya berjarak beberapa blok dari warnet ini.
“huft, seandainya saja aku tokoh fiksi seperti detektif Sherlock Holmes atau Poirot. Aku pasti sudah bisa menyelesaikannya, tapi sayang ini kenyataan dan aku bukan siapa-siapa.”
Sudah sepuluh langkah aku meninggalkan warnet itu. Tanpa diduga, seolah-olah ada cahaya yang memasuki sel-sel otakku dan membaur membentuk pemikiran-pemikiran yang dinamis, layaknya seorang ahli ibadah yang mendapatkan hikmah aku mendapatkan ide cemerlang yang cukup untuk membuatku tersenyum puas.
“hm.. aku memang bukan pahlawan seperti yang ditulis oleh novelis-novelis fiksi, tapi aku adalah orang yang akan menjadi seperti itu.” Dengan senyum ala detektif aku meningkatkan kepercayaan diriku menanti hari dimana aku akan membongkar semuanya.
Bersambung ^_^
Chapter 1, Chapter 2, Chapter 3
4. Aku Bukan Pahlawan
Sekolah menengah atas ini jika dilihat dari luar akan tampak sebagai sekolah yang asri dan baik-baik saja. Namun, dibalik keindahan tata letak, keramahan warga sekolahnya dan prestasi-prestasi yang telah diukirnya ternyata menyimpan rahasia yang membanting semua hal yang telah disebutkan tadi.
Didalam ruang ber-AC dengan dua buah meja dan satu komputer yang nangkring diatasnya, seorang pria jangkung sedang duduk dikursi empuk. dan diatas meja didepannya terdapat papan persegi panjang bertuliskan “Kepala Sekolah”. Ia tampak memilah-milah dokumen dengan memasang raut muka yang serius, sesekali sebuah lembaran dokumen diremas-remas oleh tangannya yang dihiasi jam tangan rolex berlapis emas, lalu dilemparkannya bola kertas itu kedalam tong sampah disampingnya. Dan dokumen-dokumen yang selamat dari remasan tangannya, ia simpan kembali kedalam lemari arsip di pojok ruangan itu.
***
***
“Sudah waktunya pulang.” Gumamku.
Aku beranjak dari ruangan ber-AC itu dan melangkahkan kaki menuju rumahku yang hanya berjarak beberapa blok dari warnet ini.
“huft, seandainya saja aku tokoh fiksi seperti detektif Sherlock Holmes atau Poirot. Aku pasti sudah bisa menyelesaikannya, tapi sayang ini kenyataan dan aku bukan siapa-siapa.”
Sudah sepuluh langkah aku meninggalkan warnet itu. Tanpa diduga, seolah-olah ada cahaya yang memasuki sel-sel otakku dan membaur membentuk pemikiran-pemikiran yang dinamis, layaknya seorang ahli ibadah yang mendapatkan hikmah aku mendapatkan ide cemerlang yang cukup untuk membuatku tersenyum puas.
“hm.. aku memang bukan pahlawan seperti yang ditulis oleh novelis-novelis fiksi, tapi aku adalah orang yang akan menjadi seperti itu.” Dengan senyum ala detektif aku meningkatkan kepercayaan diriku menanti hari dimana aku akan membongkar semuanya.
Bersambung ^_^
wah masih bersambung :D
BalasHapuskalau gak baca dari awal kayaknya membingungkan yah jalan ceritanya
BalasHapussalam kenal
dari blogger abnroaml
@Ria Yoyoi... ^_^
BalasHapus@Oby ya begitulah.. he.. salam kenal juga...